PEMERINTAH PULAU TALIABU
Jambi  

Menyibak Sejarah Makam Pejuang Tanpa Tanda Jasa ‘Datuk Raja Lelo Depati Hamid’ di Dusun Bangko 

BANGKO-JAMBI-Liputan4.com. Keberadaan Makanan Pejuang tanpa Tanda Jasa yang berlokasi di Taman Pemakaman Umum (TPU) Rt 11 Kelurahan Dusun Bangko, selalu menjadi misteri dan pertanyaan bagi warga Kelurahan Dusun Bangko.

 


Pasalnya Makam pejuang tersebut hingga saat ini masih tertancap Bendera Merah Putih yakni bendera Republik Indonesia yang setiap tahun bertukar dengan bendera merah putih yang baru, ditambah lagi papan nama yang bertuliskan ‘DEPATI ABD HAMID’ Pejuang Sejati Desa Pelawan Sarolangun, Wafat Tahun 1907 Dialah yang membunuh Pimpinan Belanda (Contler)’.

 

Usut punya usut akhirnya media ini menemukan jawaban dan titik terang terhadap makam pejuang yang misteri itu saat membaca postingan akun Facebook milik Ibu Siti Jamilah yang merupakan turun ke Empati (Buyit,Cicit) dari Pejuang Depati Abdul Hamid asal dari Desa Pelawan Kabupaten Sarolangun.

 

Menurut sejarah yang di ceritakan Ibu Siti Jamilah konfirmasi via Whatsapp. RajaLelo, artinya orang yang suka berpetualang atau berkelana, Depati Hamid di masa muda sering melalang Buana sampai ke Pandang Sumatera Barat daerah asal orang tuanya (Ayah).

 

” Telihat oleh Depati Abdul Hamid, orang-orang Belanda begitu akrab bersama masyarakat Minang, membangun jalan tembus kesana  kemari, sehingga Sumatera Barat Maju dengan Pesat,” tutur Ibu Siti Jamilah mencaritakan kisah pejuang Depati Abdul Hamid itu.

 

Tak sampai disitu saja cerita Ibu Siti Jamilah ini, Petualangan Lelo Raja (Depati Abdul Hamid) pun hijrah ke daerah Sumetera Selatan.

 

” Hal serupa juga ditemui Pejuang tanpa tanda jasa itu, dimana Pasukan Belanda nampak sangat dekat dengar masyarakat, membangun berbagai jalan kesana kemari pada waktu,” beber Siti  melanjutkan cerita.

 

Oleh sebab itu kata Siti Jamilah, Sang pejuang Depati Hamid terbayang akan membangun Desa Pelawan Kabupaten Sarolangun bersama Pasukan Belanda dengan tujuan bisa dinikmati anak cucunya kedepan seperti Sumatera Barat dan Sumatera Selatan.

 

” Akhirnya Depati Abdul Hamid berangkat menjemput pasukan Belanda dan di Bawa ke desa Pelawan dengan beberapa Perjanjian dan persyaratan : Pertama, Belanda tidak boleh menjajah penduduk desa Pelawan, Kedua Belanda tidak boleh menganggu Aqidah umat Muslim, Ketiga Belanda tidak tidak boleh merubah adat istiadat yang ada, sehingga perjanjian pun disepakati oleh pimpinan Belanda yang di tandatangani bersama,” Kata Siti Jamilah menceritakan perjanjian itu.

 

Waktu pun berlalu masyarakat Pelawan dan pasukan Belanda tampak rukun hidup berdampingan selayaknya pribumi dalam kehidupan sebuah desa, membangun berbagai  kebutuhan masyarakat saat itu.

 

Bahkan Depati Abdul Hamid yang disegani masyarakat dan ditakuti oleh Belanda sempat dilantik menjadi Asisten Demang.

 

Namun pada akhirnya Pimpinan Belanda mulai mengingkari dan melanggar komitmen yang disepakati dengan membawa budaya Barat, berdansa dan minuman keras serta mengembangkan agama Non Muslim di desa Pelawan tersebut.

 

Bukan hanya itu, bahkan Belanda sudah berani menyogok Depati Hamid untuk di jadikan seorang Demang asalkan setuju dgn rencana busuk Belanda ketika itu. Berawal dari itu, kemurkaan Depati Hamid yang tak butuh jabatan tersebut itu berkobar.

 

” Depati Hamid marah dan mengusir Belada dari desa Pelawan, sehingga genderang perang ditabuhkan, Korban jiwa bergelimpangan, Baik Pasukan Belanda maupun masyarakat Pelawan banyak yang gugur pada masa itu,” tambah Siti memperpanjang ceritanya.

 

Pertempuran sengit Pasukan Belanda banyak yang tewas saat itu, Pasukan Belanda berangsur kabur meninggalkan desa Pelawan, dan masyarakat mulai menyalahkan Depati Hamid, dengan nada tak senonoh memaki Depati Hamid, ” Gara-gara Kamu yang membawa Belanda, desa kita dijajah,” Kata Siti meniru kata Masyarakat Pelawan zaman Kolonial dahulu.

KAPOLRES PULAU TALIABU

 

Atas cercaan masyarakat Kampung itu, Depati Hamid pun semakin beringas hendak menumpas Pasukan Belanda sampai ke akar-akarnya. Dengan mata batin Abdul Hamid mengatakan bahwa Pasukan dan Pimpinan Belanda (Contler) kabur ke arah Bangko.

 

Depati Hamid berangkat bersama anak pertamanya bernama WAHID, berdayung sampan menyusuri sungai dari desa Pelawan selama Tiga bulan perjalanan menuju Bangko.

 

Cerita demi cerita di jelaskan Siti Jamilah, Sesampai di Bangko kala itu, Depati Hamid bertempat tinggal sementara di Bukit Aur tempat Rumah Sakit Raudah (Saat ini), tempat pemandian Pulau Elba Sungai Masumai, dengan tujuan dapat mengintip markas Belanda yang beralamat di Dusun Bangko tepat di Kantor BRI Cabang (saat ini).

 

” Mukjizat datang menambah kekuatan, diwaktu Depati Hamid sedang mandi, sebilah keris sebagai senjata pusaka yang tertinggal di desa Pelawan dititip kepada saudaranya tiba-tiba datang menghampiri tertancap melalui di batang pisang hanyut.

 

Dengan kebulatan  tekat, saat Pasukan dan Pimpinan Belanda tengah asik berpesta di markas, Depati Hamid bersama anaknya dengan brutal menyerang Belanda, sehingga menewaskan Dua orang prajurit Belanda.

 

Tak puas sampai disitu, Depati Hamid berusaha menghabisi Pimpinanan Belanda yang hendak kabur, lalu pimpinan Belanda mengarahkan dan menembak senjata pistol ke dada Depati Hamid, Perlawanan semakin sengit, Depati Hamid akhirnya berhasil menusukan senjata pusaka keris miliknya ke dada Contler, pimpinan Belanda pun terhuyung-huyung Roboh dan tewas, termasuk pasukan Belanda lainnya tewas meregangkan nyawa di bantai Wahid anak Depati Hamid.

 

Peperangan pun berakhir, Depati Hamid tetap tegar usai menghabisi Contler, kemudian dengan mengucapkan kata ‘Fisabilillah’ akhirnya Depati Hamid juga menghembuskan napas terakhirnya.

 

Kisah kematian Depati Abdul Hamid yang berjuang tanpa tanda jasa itu membawa duka yang mendalam bagi Masyarakat desa Pelawan dan Dusun Bangko pada saat itu.

 

Depati Abdul Hamid mati syahid membela harga diri NKRI, jenasahnya dikebumikan di TPU Kelurahan Dusun Bangko pada 1907 Masehi oleh masyarakat Dusun Bangko Kala itu.

 

Menurut keterangan Warga Dusun Bangko kala itu Kata Siti Jamilah, Selama Tujuh malam makam pejuang tanpa tanda jasa itu meninggal terus memancarkan cahaya terang benderang dan setiap malam Jum’at, bahkan tiap malam 17 Ramadhan cahaya itu selalu muncul kala itu.

 

” Tetua Dusun Bangko yang bercerita kepada kami yakni :

1. Pak H. Hasan Ansori  berserta istri.( Alm)

2, Pak Daud Kadir (Alm)

3, Pak Guru Oesman Jafar (Alm)

4. Wo Mustapa Hz (Alm)

5. Pak Ismail Kadir (masih hidup)

Siti jamilah mengatakan,” Mungkin ketika itu kisah ini turun temurun di Dusun Bangko, sehingga mereka mengutif sejarah itu dan di kasih tau kepada kami,” Pungkas Siti.

 

Ahli waris (Siti Jamilah) mengucapkan terimakasih atas informasi sejarah yang diberikan kepada dirinya.

 

” Klau ado yang salah terhadap lokasi pemakam Puyang Kami tolong di betulkan, maklum Depati Hamid meningal sudah lebih 1 Abad yang lalu, untuk itu kami ucapkan terimakasih dan maaf sedalam-dalamnya,” Imbuhnya.