x

Quo Vadis Profesi Advokat Indonesia Dalam Rekam Jejak Sejarah Dan Perkembangan Kekinian

waktu baca 11 menit
Kamis, 15 Des 2022 10:45 0 389 Redaksi

Peserta Rakernas PERADI tahun 2022

Oleh : @ Sofyan Mohammad*
————————————————————————
LIPUTAN4.COM, Batam – Catatan Ringan dalam Rakernas PERADI tahun 2022, Hukum yang adil pasti menjadikan kehidupan lebih damai dan harmonis. Untuk itu kita perlu yakin untuk berani melakukan sebab tidak akan ada gesekan yang mengakibatkan terjadinya perpecahan.

Pada hari Senin 12 Desember 2022 telah berlangsung pembukaan Rakernas PERADI yang berpusat di Swiss – Belhotel Harbour Bay, Jl. Duyung Sei Jodoh, Sungai Jodoh, Kec. Batu Ampar, Kota Batam, Kepulauan Riau.

Sejak pagi mulai berdatangan para peserta yang terdiri dari para Ketua Sekretaris dan Bendahara DPC & KORWIL PERADI dari seluruh Indonesia. Para peserta yang datang tersebut rata rata bergaya perlente berjas, berdasi dan bersepatu kinclong, mengenakan perhiasan dan aksesoris bermerk menempel dalam tubuh dan mengendarai mobil mewah. Hal yang sangat mengesankan sebagai gaya hidup yang mewah dan glamour.

Sebelum acara pembukaan dimulai mereka duduk duduk bergerombol memenuhi ruang dalam loby hotel dan cafe cafe. Terdengar pokok pembicaraannya adalah menyangkut berbagai pengalamannya berlibur dari Singapura, menginap di Malaysia atau berpelancong di Thailand.

Kehadiran mereka di Batam adalah salah satu rangkaian acara yang dimanfaatkan sekaligus untuk berpelancong dan berswabelanja. Rakernas yang menurut jadwal diagendakan akan berlangsung selama dua hari itu telah memberi dampak positif bagi Kota Batam sebab hotel hotel VVIP di Kota Batam habis penuh, restoran senantiasa ramai pengunjung, sport wisata juga ramai dikunjungi, tempat penjualan souvenir tak luput dari jangkauan para peserta yang diantar oleh hilir mudik moda transpotasi berbasis online.

Gambaran peserta Rakernas yang bergaya glamour dan hedonisme tersebut adalah sebagian dari pada peserta. Di sudut lain juga banyak terlihat peserta yang berpenampilan biasa namun tetap elegan. Para peserta ini dapat di kualifikasikan sebagai advokat yang idelalis. Mereka datang jauh jauh ke Batam sebagai peserta Rakernas telah mempersiapkan materi. Dokumen dalam tas jinjing selalu mereka bawa. Pokok pembicaraan di pojok ruang loby dan cafe mereka warnai dengan gagasan dan ide yang akan disampaikan dalam forum rakernas.

Demikian potret gambaran singkat kehidupan profesi Advokat di Indonesia. Dua potret yang menjadi keniscayaan dalam lenskap penegakan hukum di Indonesia. Memang harus disadari dalam imaje citra publik Indonesia jika profesi pengacara dianggap lekat dengan materi kekayaan.

Sebab banyak diantara pengacara ternama yang sering tampil di media hanya menampilkan kesan bergelimang harta yang diperoleh dari hasil profesi yang mereka ditekuninya.

Tak heran apabila kemudian sekarang banyak diantara anak muda Indonesia yang terobsesi menjalani profesi dengan sebutan mentereng Lawyer ini. Sebut saja sosok seperti Hotman Paris Hutapea, Hotma Sitompol atau yang lainnya sering tampil penuh kontroversi di media dianggap sebagai salah satu diantara pengacara mentereng yang sukses sebagai praktisi hukum di Indonesia yang bergelimang harta. Perhiasan menempel di badan, deretan mobil bermerek dan rumah mewah seolah menjadi indikator betapa suksesnya para lawyers ini.

Menilik sejarahnya profesi advokat tidak selalu linier dengan kekayaan sebab profesi ini lahir, yang tidak dapat dilepaskan dari peradaban dunia yang penuh dengan dinamika. Pada saat itu orang-orang pertama yang dapat dikatakan sebagai “pengacara” adalah para orator Athena kuno.
Para orator Athena saat itu dikisahkan telah menghadapi kendala struktural yang serius. Sebab telah terdapat peraturan bahwa individu seharusnya membela kasus mereka sendiri, yang segera dialihkan dengan meningkatnya kecenderungan individu untuk meminta bantuan hukum kepada orang yang dianggap tahu hukum.
Di Roma pada tahun tahun 204 SM telah ada aturan yang melarang advokat Romawi meminta bayaran, tetapi dalam prakteknya aturan ini secara luas justru diabaikan. Hingga muncul polemik karenanya saat itu Kaisar Claudius pada akhirnya mau mengesahkan advokat sebagai sebuah profesi advokat yang bisa praktek secara terbuka dan menghapuskan larangan biaya.

                                       Peserta Rakernas PERADI tahun 2022

Hal ini tentu berbeda dengan Athena, sebab otoritas Roma sejak saat itu mulai mengembangkan kelas spesialis yang mempelajari hukum, yang dikenal sebagai jurisconsult (iuris consulti). Di Roma kuno profesi hukum terus berkembang dan menjadi profesi yang lebih resmi hingga terbit banyak aturan seputar pengacara yang mengontrol berapa banyak pengacara (organisasi advokat) di mana mereka dapat mengajukan kasus dan bagaimana mereka dapat didaftarkan ke pengadilan atau bar.

Sebelum ada aturan itu setiap warga negara biasa dapat menyebut diri mereka pengacara tetapi begitu profesi menjadi lebih diatur, ada standar yang sangat tinggi yang harus dipenuhi sebelum diizinkan bekerja sebagai pengacara dan harus diakui jika profesi ini pada saat itu hanya dapat diakses oleh kelas atas.

Karena hal tersebut menjadikan profesi advokat hanya berasal dari kelas atas dan intelektual saja, hingga masyarakat umum dan para bangsawan akan memilih para advokat untuk mendapatkan nasihat hukum.

Jejak Pengacara di Abad Pertengahan

Abad pertengahan ini disebut sebagai periode masa peralihan, yang menjembatani kesenjangan antara abad pertengahan dan peradaban modern. Beberapa pemikir, penulis, negarawan, ilmuwan, seniman dan ahli hukum terhebat dalam sejarah manusia bermunculan dan berkembang pesat selama era ini.

Dalam berbagai literasi dapat terbaca jika pengacara di abad pertengahan mulai berjuang menjadikan profesi yang bisa sekaligus untuk mencari nafkah adalah ketika profesi hukum runtuh akibat berbagai kebijakan gereja.

Antara tahun 1190 dan 1230 negara dan gereja menggendakan upaya mereka untuk mengontrol dan mengatur berbagai profesi tak terkecuali profesi Advokat. Terdapat dorongan kuat buat memprofesionalkan profesi hukum dengan membuat pengacara bersumpah sebelum diizinkan buat praktik hukum, hal ini dimaksudkan untuk segala kepentingan gereja.

Profesi Advokat di Negara Amerika

Sebagaimana dilansir dalam www-boyyendratamin-com menyebutkan jika para presiden Amerika Serikat banyak yang berlatar belakang pengacara yang dimulai sejak abad 18 yang diawali John Adams (Presiden Amerika Serikat ke-2 sejak 4 Maret 1797–4 Maret 1801) dan hal tersebut terus berlangsung silih berganti sampai sekarang. Dan pada masa-masa periode tertentu diselingi pengusaha, petani, pendidik dan aktor, penulis dan tentara. Tetapi dilihat dari kuantitasnya, Presiden Amerika Serikat dengan latar pekerjaan sebagai pengacara sebelum menjadi presiden mencapai 26 orang. Hal ini sangat menarik, karena bagaimana pun juga latar belakang pekerjaan seseorang sebelum menjadi presiden akan memberi warna atau setidak-tidaknya memberi pengaruh pada visi dan misi kepemimpinanya, tentu termasuk visi dan misinya pada soal kehidupan hukum dan penegakannya.

Tercatat sampai dengan masa kepemimpinan Barack Obama, Amerika Serikat telah dipimpin 44 orang Presiden. Menariknya dari 44 orang Presiden yang pernah memimpin Amerika Serikat, 26 orang (sekitar 60 % lebih) diantaranya berprofesi sebagai advokat sebelum menjadi presiden.

Presiden Amerika Serikat yang berlatar belakang pengacara adalah John Adams, Thomas Jefferson, James Madison, John Quincy Adams, Martin Van Buren, John Tyler, James K. Polk, Millard Fillmore, Franklin Pierce, James Buchanan, Abraham Lincoln, Rutherford B. Hayes, James Garfield, Chester A. Arthur, Grover Cleveland, Benjamin Harrison, William McKinley, William Howard Taft, Woodrow Wilson, Calvin Coolidge, Franklin D. Roosevelt, Lyndon B. Johnson, Richard M. Nixon, Gerald R. Ford, William J. Clinton dan Barack Obama.

Bertolak dari rekor tersebut diatas maka di Amerika profesi pengacara di Amerika Serikat merupakan profesi yang bergengsi dan hal itu tidak terlepas dari penghargaan dan kepercayaan public terhadap profesi pengacara. Profesi pengacara di Amerika Serikat merupakan salah satu profesi yang berpenghasilan besar ketimbang profesi-profesi yang lain. Secara fakta dominannya para Presiden Amerika Serikat berprofesi sebagai pengacara sebelum menjadi presiden itu ikut melengkapi citra baik profesi pengacara di Amerika Serikat. Hal ini kian menarik jika kemudian dicermati ada banyak pengacara di Amerika Serikat yang terjun ke dunia politik atau terjun sebagai politisi.

Jejak sejarah profesi Pengacara di Indonesia

Dalam catatan sejarah Indonesia pada masa kolonialisme ada beberapa tokoh yang dianggap sebagai pejuang kemerdekaan dalam pergerakan nasional yang berasal dari ahli hukum yang berprofesi sebagai Pengacara. Mereka yang tercatat adalah Mr. Raden Soewandi, Mr. Teuku M. Hasan, Mr. Johannes Latuharhary, Mr. Ahmad Subardjo, Mr. Muhammad Yamin, Maria Ulfah, Mr. Abdoel Abbas, Mr. Soepomo dan Mr. R Soeleiman E Koesoema Atmadja.
Mereka adalah para tokoh advokat yang mempunyai peran penting dan strategis dalam kiprahnya memperjuangkan Rule of Law. Seluruhnya bergelar Meester in de Rechten pada masa itu.

Pada masa masa itu karena jumlah ahli hukum sangat sedikit maka mereka tidak bergabung dalam organisasi advokat, akan tetapi di kota-kota besar sudah ada organisasi misalnya Balie van Advocaten yang keanggotaannya didominasi oleh para advokat Belanda.

Balie van Advocaten ini yang kemudian dalam perjalananya menjadi embrio terbentuknya Persatuan Advokat Indonesia (PAI) pada 14 Maret 1963 yang berkembang kemudian menjadi Persatuan Advokat Indonesia (PERADIN).

Harapan dan usaha untuk mengadakan suatu kongres atau musyawarah para advokat Indonesia waktu itu mulai dikumandangkan dalam Kongres II Perhimpunan Sarjana Hukum (PERSAHI) di Surabaya yang berlangsung pada tanggal 15-19 Juli 1963.

PERSAHI dipandang sebagai Law Society di Indonesia yang mencita -citakan organisasi advokat bisa didirikan. Hasil Kongres II PERSAHI ini mengharapkan agar kongres para advokat dapat diselenggarakan pada bulan Agustus 1964 di Solo.

Advokat Indonesia pada masa kini

Pada Orde Reformasi maka telah disahkan Undang -Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Dalam UU ini sekaligus memberikan pengakuan adanya Organisasi Advokat Sebagai Wadah Tunggal di Indonesia atau Single Bar.

Untuk menindaklanjuti amanat Pasal 32 ayat (4) Undang-Undang Advokat, dibentuklah Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) sebagai wadah tunggal organisasi advokat guna memenuhi syarat UU Advokat. Namun dalam perjalananya sebagian diantara pihak berargumen bahwa PERADI dibentuk tidak melalui mekanisme yang demokratis, akuntabel, dan transparan, maka dideklarasikanlah Kongres Advokat Indonesia (KAI) sebagai wujud protes dari berdirinya PERADI.

Hal ini kemudian memicu tumbuhnya banyak organisasi Advokat di Indonesia selain PERADI sendiri. Akibat dari permasalahan di antara advokat ini, keluarlah Surat Ketua MA No. 052/KMA/V/2009 tertanggal 1 Mei 2009 (SKMA) yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Tinggi di seluruh wilayah Indonesia untuk tidak mengambil sumpah para calon advokat. Perseteruan advokat ini membuat pengawasan dan pendisiplinan advokat menjadi kacau.
Terkait dengan amanah UU tentang wadah tunggal organisasi Advokat hingga saat ini masih belum ada kepastian hukum. Permasalahan single bar dan multi bar asosiasi advokat di Indonesia saat ini masih mengalami perdebatan. Rancangan pengaturan ini selalu mengundang tanggapan dari berbagai pihak. Meski kemudian PERADI sebagai Organisasi Advokat hingga saat ini masih terus konsisten memperjuangkan wadah tunggal sebagai bagian dari amanah Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat.

Quo Vadis Profesi Advokat di Indonesia

Bertolak dari uraian narasi tersebut diatas mulai dari imaje publik tentang pengacara Indonesia jaman now, sejarah singkat Advokat dunia, profesi Advokat di Amerika hingga kemelut konflik Organisasi Advokat di Indonesia maka sebenarnya dapat ditarik beberapa pengertian sebagai kajian strategis dalam paparan Rapat Kerja Nasional (RAKER) PERADI di Batam yaitu :
1. PERADI harus fokus mensolidkan diri sebagai organisasi Advokat yang istiqomah memperjuangkan amanah Undang Undang yaitu sebagai wadah tunggal( Single Bar)
2. PERADI lebih serius didalam merumuskan kebijakan yang berorientasi peningkatan kualitas anggota PERADI yang memiliki integritas dan idealisme sebagai penegak hukum yang taat kode etik profesi.
3. PERADI jangan terlalu menguras banyak energi untuk menanggapi manuver pihak Organisasi Advokat lain yang tidak sevisi dan semisi. Sebab AO tersebut hanya berlindung pada selimut konstitusi yang menyangkut kebebasan berserikat dan berkumpul. Ghiroh tentang amanah UU tidak mereka pahami secara way of life.
Narasi yang mereka bangun justru akan menyesatkan apabila ditanggapi terus oleh PERADI. Sebab argumen hukum akan terus berkembang seiring dengan postulat dalam analogi perdebatan antara telur sama ayam duluan yang mana.
AO yang tidak sepaham dengan visi misi PERADI belajar dari sejarah profesi Advokat sendiri akan tergerus dan hilang dengan sendirinya.
4. Meski negara kita negara hukum (rechstaat) akan tetapi pada kenyataanya setiap kebijakan hukum tidak terlepas dari kebijakan politik dan pemerintahan (telah terjadi subordinasi antara politik dan hukum). Setidak bisa kita lacak bagaimana produk hukum yang dilahirkan terkait perseteruan antara PERADI dengan AO lain maka selalu diputus dengan cara yang tidak memberi kepastian hukum.
Untuk itu PERADI sudah harus dianggap perlu untuk ikut mengkonsolidasikan beberapa momentum politik sebagai bagian instrumen untuk mewujudkan cita cita besar sebagai Organisasi Wadah Tunggal (Single Bar) yang mewadahi para Advokat yang berkualitas, berintegritas dan ber idealisme sebagai seorang penegak hukum yang humanis sebagai penyangga peradaban baru Indonesia.

Jika langkah langkah ini secara tepat dan terukur diambil oleh PERADI maka tidak akan memakan waktu yang begitu lama akan terwujud cita cita PERADI sebagai elemen bangsa yang memiliki peran startegis untuk mensejahterakan dan memajukan bangsa Indonesia.

Hingga anak anak muda Indonesia ketika memiliki cita cita untuk menjadi Advokat bukan karena terobsesi oleh bergelimangnya harta dan hidup hedonisme. Namun karena adanya semangat untuk ikut berpartisipasi dalam memajukan bangsa dan negara melalui pintu penegakan hukum. Meski tetap ada bayaran mahal atas kerja keras dalam profesi yang dilakukan. Namun hasil tersebut tentu tidak bisa serta bermakna sebagai tujuan menjalani profesi demi menjalani kehidupan yang glamour dan bermewah mewahan.
Bersambung……………………….
—————————————————————
* Esai ditulis dalam pengamatan dalam sesi pembukaan acara Rakernas PERADI tahun 2022 di Batam.
** Penulis adalah Ketua DPC PERADI Ungaran Kab. Semarang – Jawa Tengah

Berita dengan judul: Quo Vadis Profesi Advokat Indonesia Dalam Rekam Jejak Sejarah Dan Perkembangan Kekinian pertama kali tampil pada Berita Terkini, Kabar Terbaru Indonesia – Liputan4.com. Reporter: Jarkoni

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

LAINNYA
x
x