x
HARI KARTINI

Sambung Ruh Ulama Nusantara Syekh Jangkung Landoh Kayen Pati Jateng

waktu baca 6 menit
Rabu, 24 Mei 2023 06:12 0 580 JARKONI

Sambung Ruh Ulama Nusantara
Syekh Jangkung
Landoh Kayen Pati Jaten
#Part1

LIPUTAN4.COM, Pati – Syekh Jangkung adalah nama yang cukup populer bagi kalangan santri nusantara. Terlebih bagi para pelaku tarekat atau kalangan pelaku Sufiistik dan Tasawuf nama Syekh Jangkung menjadi salah satu nama legendaris dan ikronik tentang kisah perjalanan spiritual dalam ekstase mistik (wajd) menuju wushuliyah.

Jejak kisah hidup Syekh Jangkung saat ini dapat ditemui dengan adanya keberadaan makam yang diyakini sebagai makam Syekh Jangkung yang terletak di Desa Landoh, Kecamatan Kayen, Kabupaten Pati, Jawa Tengah.

Komplek pemakaman dengan lenskap bangunan yang unik semi etnik bernuansa natural, dibagian depan setelah pintu masuk berdiri dengan gagah gapura, pendopo, cungkup dan mushola. Hampir semua sisi arsitektur bangunan terbuat dari batu bata semen yang di desain semi etnik dengan motif repro batang batang kayu dan bambu.

Di komplek itu terdapat dua bangunan gapura yang pertama berdiri untuk menjadi penghubung diantara kedua sisi bangunan pembatas. Sedangkan, gapura kedua di desain menyerupai candi yang di kanan dan kirinya terdapat tembok pembataspembatas untuk jalan masuk bagi peziarah.

Setelah melewati jalan berlorong dengan pagar pembatas beton bermotif kulit kulit kayu, kanan dan kirinya adalah komplek makam umum yang dilihat dari bentuk nisannya akan terlihat sangat kuno. Barangkali adalah makam bagi kerabat atau para pengikut – santri Syekh Jangkung tatkala masih hidup tempo dulu.

Setelah sampai diujung lorong maka sampailah pada inti bangunan yang berupa cungkup yang didalamnya terdapat makam Syekh Jangkung. Pada tengah tengah bangunan tersebut dibuat variasi kusen pintu yang terbuat dari beton bermotif batang batang kayu. Sementara untuk dapat masuk kedalam cungkup makam, pintunya justru terletak di sebelah kiri pojok yang terbuat dari pintu baja.

Tempat bagi para peziarah untuk berdoa terletak didepan, belakang dan sisi kanan bangunan cungkup yang cukup luas untuk menampung para peziarah yang datang. Dibagian belakang pojok kanan terdapat kaca transparan untuk dapat melihat jirat makam yang berada didalam cungkup.

Juru kunci makam nampaknya tidak memperkenankan semua para peziarah dapat masuk kedalam cungkup makam. Hanya dalam waktu tertentu atau kalangan tertentu yang diberi kesempatan oleh Juru kunci untuk masuk kedalam cungkup.

Didalam cungkup terdapat jirat nisan Syekh Jangkung yang dihijabi dengan kain putih yang membungkua seluruh jirat nisan makam. Ditengah tengah pusara bertabur bunga yang menyisakan bau harum. Memasuki ruangan ini sungguh akan memasuki dimensi yang sakral, profan dan mistik.

*Asal Usul Syekh Jangkung*

Dalam Babad Pati, disebutkan adanya tokoh yang bernama Ki Ageng Kiringan yang sangat mendambakan kelahiran anak lelaki meskipun telah memiliki putri yang bernama Roro Branjung. Karena keinginannya tersebut Ki Ageng Kiringan melakukan tirakatnya secara khusuk. Hingga pada suatu hari melalui perantara gaib Kanjeng Sunan Kalijaga, Ki Ageng Kiringan menemukan seorang bayi laki laki di sebuah tepian sungai.

Bayi yang ditemukan tersebut berselimutkan kain kemben yang berasal dari kain penutup dada sang ibu. Jarik kemben inilah yang kemudian diriwayatkan menjadi semacam pusaka yang ampuh sebagai salah satu wasilah yang dapat dipergunakan oleh Syekh Jangkung ketika menghadapi setiap bahaya yang dapat mengancamnya.

Menurut penuturan budayawan Pati Ki Dalang Farid Suhanto menyebutkan jika bayi laki laki tersebut lantas diberi nama Syarifuddin, namun dalam pelafalan bagi lidah orang Jawa maka berubah menjadi “Saridin”. Setelah beberapa lama Saridin dirawat oleh Ki Ageng Kiringan maka Kanjeng Sunan Kalijogo menyampaikan jika Saridin sejatinya adalah anak dari pada Sunan Muria yang merupakan guru Ki Ageng Kiringan sendiri. Saridin dirawat dengan penuh kasih sayang oleh Ki Ageng Kiringan dan dipersaudarakan dengan Roro Brunjung.

Setelah beranjak remaja, Kyai Ageng Kiringan mengirim Saridin untuk nyantri – berguru kepada Sunan Kalijaga dan juga pada Sunan Bonang maupun Sunan Muria. Dengan demikian diyakini sejak muda Saridin telah memiliki ilmu pengetahuan Agama yang sangat mendalam. Pada saat menjadi menjadi murid Sunan Kalijogo tersebut Saridin diberi nama oleh gurunya yaitu Jangkung. Demikian uraian cerita Ki Dalang Farid Suhanto selaku ketua PEPADI (Persatuan Dalang Indonesia) cabang Pati.

*Kisah Syekh Jangkung dengan Ki Brunjung*

Juru Kunci makam yaitu Pak Sartono menceritakan setelah cukup dewasa Roro Branjung kakak Saridin dinikahkan dengan pemuda bernama Prawiroyudo yang merupakan seorang abdi dalem Tumenggung Niti Kusumo dari tlatah Mataram. Pada saat itu Prawiroyudo sebenarnya berstatus sebagai seorang buronan tentara Mataram, karena sebuah kasus tertentu.

Dikisahkan setelah Kyai Ageng Kiringan wafat, Prawiroyudo mengajak Nyai Branjung pindah ke Desa Miyono. Setelah di Desa Miyono Prawiroyudo berterus terang bahwa dirinya adalah buronan Kasultanan Mataram sehinga mengganti namanya menjadi Ki Branjung.

Juru kunci makam pak Sartono melanjutkan kisah pada suatu ketika Saridin muda sempat ikut tinggal di Desa Miyono bersama kakaknya hingga kemudian Saridin bertemu dan menikah dengan gadis Desa itu yang bernama Sarini seorang putri tunggal dari Kyai Truno Upet. Dari pernikahan ini Saridin dikaruniai seorang anak laki-laki yang diberi nama Momok.

Mbah Rukani selaku Juru Kunci Makam melanjutkan kisah jika sepeninggal Ki Ageng Kiringan telah mewariskan kepada Nyai Brunjung dan Saridin berupa kebun pohon durian. Diantara keduanya telah setuju untuk membagi hasil penjualan panenan buah durian tersebut. Ki Brunjung menawarkan kepada Saridin jika buah durian yang jatuh di malam hari maka adalah milik Ki Branjung, sedangkan apabila buah durian jatuh pada siang hari adalah milik Saridin. Untuk menjaga hubungan yang baik dengan saudaranya,

Mbah Rukani menyampaikan jika sebenarnya diketahui jika Saridin adalah seorang yang linuwih dan waskito, sebab beliau sudah mengetahui jika Ki Brunjung akan berbuat curang, untuk itu Saridin melakukan tetirah laku spiritual memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar durian-durian itu jatuh pada siang hari.

Mengetahui jika ternyata buah durian tersebut justru paling banyak jatuh pada malam hari maka munculah niat jahat dari pada Ki Brunjung dengan cara akan mencuri buah durian yang jatuh pada malam hari. Untuk mengelabuhi Saridin, lantas Ki Brunjung menyamar dengan memakai pakaian dari kulit harimau agar seoalah olah macan.

Mengetahui akal licik Ki Brunjung , antas Saridin memasang jebakan dikebun pada malam hari dengan menggunakan tombak yang terbuat dari ujung pohon bambu, sehingga saat harimau tersebut mencuri buah durian, maka harimau tersebut akan terkena tusukan tombak. Dan benar pada suatu malam harimau jadi jadian tersebut tewas tertusuk tombak bambu. Sehingga yang terbunuh bukan harimau beneran akan tetapi adalah kakak iparnya sendiri yaitu Ki Brunjung.

Pada pagi harinya masyarakat Desa Miyono heboh sebab Ki Branjung, yang terkenal sebagai sosok yang kaya dan terpandang ditemukan tewas di kebun durian belakang rumahnya. Segera petugas keamanan dari desa mengusut ke tempat kejadian perkara, menyelidiki sebab kematian Ki Branjung dan siapa pembunuhnya.

Di saat warga Desa Miyono sudah berkerumun di mana jasad Ki Branjung berada, tiba-tiba muncul Saridin dengan sebilah bambu runcing yang ujungnya berlumuran darah, asumsi umum langsung menunjuk jika Saridin lah yang telah membunuh Ki Brunjung dengan motif memperebutkan warisan berupa buah durian.
Masyarakat langsung menunjukkan pandangan pada adik ipar Branjung yang terkenal miskin dan sederhana itu sebagai tersangka pembunuh Ki Brunjung.

Bersambung………..

__________________________________________________
*Tulisan ini bersumber dari wawancara dengan Juru Kunci Makam yaitu Mbah Rukani, Pak Hartono, Pak Damhari dan Pak Sartono serta diskusi dengan Budayawan Pati Ki Dalang Farid Suhanto ditambah dengan berbagai sumber bacaan :
1. Agus Sunyoto,
Buku Atlas Wali Songo, Mizan. 2016
2. Serat Babad Pati / Oleh: K. M. Sosrosumarto, S. Dibyosudiro; Alih aksara dan alih bahasa: Yanti Darmono, Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, 1980
3. Buku Wali Songo: Rekonstruksi Sejarah yang Disarikan, Agus Sunyoto, Transpustaka, 2011
4. Yudhi AW, Babad Wali Songo, Narasi, 2013

** Penulis adalah pehobi sejarah dan ziarah

Stik Famika Makassar

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

ULTAH PULAU TALIABU
RIDWAN AZIZ
PLT BUPATI LABUHANBATU
Stik Famika Makassar
LAINNYA
x
x