Liputan4.com – Sejarah gelap penindasan struktural melalui penjajahan di dunia pada prinsipnya adalah bagian dari sejarah dominasi dan eksploitasi manusia atas manusia (l’exploitation de l’homme par l’homme). Sejarah itu tidak kunjung berhenti, belum juga menemukan titik terangnya hingga saat ini. Di berbagai penjuru dunia, masih banyak jerit derita dari kaum tertindas—mulai dari kaum tani, kaum buruh, nelayan dan miskin kota.
Penjajahan atau imperialisme inilah yang terus bertransformasi. Ia berubah-ubah, menyesuaikan diri: dari imperialisme kecil ke imperialisme raksasa, dari imperialisme jaman dulu ke imperialisme jaman sekarang, dari imperialisme kuno menjadi imperialisme modern. Imperialisme ini dilahirkan dari rahim kapitalisme, dan imperialisme modern jelas lahir dari rahim kapitalisme modern. Jika dulu kapitalisme kuno hanya berpraktek dengan mode produksi yang menindas hanya dalam skala kecil, maka kapitalisme modern saat ini berpraktek dengan mode produksi yang sangat mengerikan. Lihatlah betapa masifnya jutaan hektar tanah yang dikuasai untuk perkebunan, betapa banyak dan raksasanya pabrik-pabrik dengan asap mengepul di udara milik investor, lihatlah gedung-gedung pelayan jasa perbankan, asuransi, telekomunikasi yang mencakar langit. Penjajahan gaya baru inilah disebabkan kebijakan dan praktek neoliberalisme, yang oleh Soekarno dinyatakan sebagai neokolonialisme-imperialisme (nekolim).
Jika dulu penjajahan menggunakan pasukan bersenjata yang secara langsung merepresi rakyat, penjajahan gaya baru menyusup diam-diam dan menindas secara struktural. Jika dulu onderneming-onderneming kolonial merangsek lahan rakyat, pabrik-pabrik perkebunan kolonial, memberangus hak-hak kemerdekaan, hak-hak berkumpul, hak-hak berserikat, ditekan habis-habisan oleh penjajah maka sekarang belum tentu seperti itu.
Kaum penjajah ini kemudian mengaduk-aduk bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, lalu mengisapnya hasilnya untuk dialirkan langsung ke negara penjajah. Sekarang penjajahannya sungguh berbeda, karena perkebunan-perkebunan raksasa tidaklah masuk hanya dengan cara paksa. Hak-hak rakyat seakan-akan ditegakkan, namun pada esensinya bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi kita tetap digunakan untuk kepentingan pemilik kapital. Penjajahan gaya baru tidak terang-terangan, ia tidak dirasakan oleh rakyat tetapi secara ekonomi-politik, sosial dan budaya mempengaruhi pola pikir dan segala sendi kehidupan kita sehari-hari.
Dulu tidak ada yang namanya penjajahan budaya. Kini, akar budaya bangsa kita telah terkikis oleh penetrasi budaya asing. Bukan juga berarti budaya asing ini sesungguhnya jahat semua, namun neokolonialisme-imperialisme juga merasuki rakyat melalui jalan budaya. Lihat betapa kita diatur untuk terus berkonsumsi, bertindak individual, bahkan melupakan warisan luhur budaya nenek moyang kita.
Pada tataran kehidupan sehari-hari, neokolonialisme-imperialisme ini masih belum atau simpang siur dipahami rakyat. Namun rakyat tidak harus minder jika masih tidak atau belum mengerti arti istilah-istilah ini. Kita sebagai rakyat juga seharusnya jangan merasa diri kita bodoh atau tidak cukup mampu untuk memahami hal-hal tersebut. Ketidakpahaman dan kesimpangsiuran itu justru terjadi karena keinginan dan tujuan antek-antek neokolonialisme-imperialisme sendiri. Sementara, berbagai macam praktek penjajahan gaya baru di tingkat kehidupan sehari-hari serta istilah yang membingungkan mereka gunakan sebagai topeng untuk menutupi kejahatan mereka.
neokolonialisme-imperialisme. Bentuk penindasan ini dilakukan via kekerasan pemerintah cq negara dengan hukum (judicial violence) dalam rangka melindungi penindasan modal (capital violence) dalam cabang-cabang produksi yang seharusnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. ‘Ekonomi-politik keruk’ semacam inilah yang juga secara faktual dialami di Indonesia.