x

Kalian Punya Kebiasaan Curhat Panjang Lebar? Lakukan Ini Biar Gak Kebablasan

waktu baca 4 menit
Kamis, 7 Jul 2022 12:45 0 240 Redaksi

Istilah “trauma dumping” cukup beken di kalangan anak muda belakangan ini. Sifatnya sekilas memang mirip curhat biasa, namun ada satu poin penting yang membedakan keduanya. Saat sedang trauma dumping, seseorang akan menumpahkan segala “trauma” mereka kepada orang lain, sering kali tanpa diminta dan mereka tidak memahami situasi si pendengar.

Banyak orang berpandangan istilah tersebut kurang tepat menggambarkan kejadian sesungguhnya, bahwa kekalutan yang melanda hati mereka bukanlah trauma. Orang sering keliru mengartikan istilahnya.

“Trauma secara khusus menggambarkan respons terhadap peristiwa yang mengancam nyawa dan jiwa. Kondisi psikis terguncang hingga kita merasa tidak berdaya,” terang psikolog klinis Divine Love Salvador.

Salvador menyebut setiap orang merasakan luka batin yang menyakitkan, namun tak semuanya traumatis. Walau mungkin sulit disembuhkan, luka ini tak melulu menghancurkan perasaan aman. Selain itu, trauma sulit dibicarakan, sehingga orang-orang yang mengalaminya cenderung jarang menceritakan pengalaman buruk mereka.

“Kamu bisa lihat dari cara orang menggunakan istilah ‘trauma dumping’, bahwa yang mereka maksud adalah orang-orang yang terlalu sering menceritakan masalahnya dan dalam konteks yang tidak tepat. Kesengsaraan emosional yang dihadapi tak selalu bersifat traumatis.”

Menurut Salvador, orang yang menumpahkan segala keluh kesah mereka terkadang tidak memperhatikan faktor eksternal dan isyarat, seperti sudah berapa lama mereka berbicara atau seperti apa reaksi dan perasaan orang yang mendengarkan curhatannya. Istilah “dumping” juga berkonotasi dengan orang yang terlalu mementingkan kebutuhan pribadinya, tanpa menyadari dampaknya pada orang lain. Saat meluapkan emosi, kamu bisa saja menimbulkan atau memicu emosi negatif pada orang lain.

Bukan berarti kamu tidak boleh bercerita kepada orang lain, terlepas pengalamannya traumatis atau tidak. Hanya saja kamu perlu menyadari orang seperti apa yang siap menjadi pendengar, dan kapan waktu yang tepat untuk bercerita.

Meningkatkan kesadaran diri

“Semakin kita memahami diri sendiri, semakin besar pula kemampuan kita mengelola kebutuhan emosional. Dengan demikian, kita tak perlu serba tergantung pada orang lain, yang mungkin mengalami hal serupa atau justru lebih rentan daripada kita,” Salvador menjelaskan.

Dia berujar, kesadaran diri dapat tercapai dengan mengajukan pertanyaan seperti: Apa yang saya butuhkan saat curhat? Bisakah saya merasakan ketidaknyamanan orang yang mendengarkan ceritanya? Adakah cara lain yang bisa saya lakukan untuk memenuhi kebutuhan emosional? Apakah saya terlalu mendominasi pembicaraan dan hubungan dengan orang ini?

Pahami apa pengaruh curhatanmu terhadap orang lain

Kamu mungkin akan merasa lega setelah mengeluarkan semua unek-unek, tapi saking puasnya kamu sampai lupa memikirkan perasaan orang yang menjadi tempat curhat. Salvador menganjurkan agar kamu mempertimbangkan kapasitas seseorang untuk mendengarkanmu, kesehatan mental mereka, situasi serta seberapa dalam hubungan kalian sebelum bercerita.

“Ada orang yang akan merasa kewalahan ketika mendengarkan secara detail masalah yang dialami orang lain lantaran mirip dengan pengalaman pribadi. Ada juga yang tertekan menampung informasi yang tak diinginkan, dan mereka tidak tahu harus berbuat apa. Mungkin awalnya orang tidak keberatan menjadi pendengar, tapi mereka pasti risi jika itu terjadi berulang kali,” katanya.

Membuka diri memang bagus, tapi kamu perlu memastikan tindakanmu tidak akan menyusahkan orang lain.

Hargai batasan

“Kebiasaan ‘oversharing’ dapat menjadi indikator adanya ketidakmampuan memahami batasan,” ujar Salvador.

Apabila kamu memiliki kecenderungan membagikan masalah pribadi, maka Salvador menyarankan kamu untuk merenungkan batasan yang kamu miliki dalam hubungan pertemanan. Seberapa banyak beban yang bisa dibagikan kepada teman? Seberapa sering? Apakah temanmu siap mental mendengar tentang masalah yang sedang kamu hadapi?

Dari situlah kamu dapat menetapkan batasan dengan teman dan orang-orang terdekat lainnya.

Ingatlah bahwa luka batin tidak menggambarkan siapa dirimu seutuhnya

Terkadang, kita terpaku pada masalah sebagai cara menghindari pertanyaan-pertanyaan sulit yang perlu dihadapi.

Itulah sebabnya Salvador mendorong orang untuk mengenal diri seutuhnya, lebih dari sekadar rasa sakit dan pencapaian mereka. Tanyakanlah pada diri sendiri, siapa diri kamu di luar pekerjaan atau hal-hal yang telah kamu lakukan? Siapakah orang yang sedang terluka ini? Bagaimana caramu melindungi diri selama ini? Bagaimana perlindungan ini membentuk hubungan dan kehidupanmu?

Selain membebaskan kamu dari kebiasaan “trauma dumping”, pertanyaan-pertanyaan ini dapat membantumu menentukan langkah yang tepat untuk menyelesaikan masalah.

Cari bantuan profesional

Tak dapat dipungkiri, ada luka yang sulit disembuhkan meski kamu telah mempraktikkan langkah-langkah di atas, sehingga penting bagimu untuk membicarakannya.

“Apabila memungkinkan, carilah bantuan terapi profesional supaya kamu tidak merasa sendirian saat berusaha melalui dan berdamai dengan masalahmu,” terang Salvador. “Terapis terlatih akan menemanimu melewati perjalanan terjal yang membutuhkan keberanian.”

Follow Romano Santos di Instagram.

Stik Famika Makassar

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

RIDWAN AZIZ
PLT BUPATI LABUHANBATU
Stik Famika Makassar
LAINNYA
x
x