x

Ferdy Sambo Puncak Gunung Es: Banyak Polisi Rekayasa Kasus, dari Jenderal Sampai Kroco

waktu baca 6 menit
Kamis, 11 Agu 2022 18:45 0 579 Redaksi

Pembunuhan Brigadir Nopryansah Yosua Hutabarat membuat banyak orang di Indonesia bergidik. Apa jadinya kasus ini jika keluarga Yosua tak berani menggugat kematian janggal sang brigadir tersebut? Kasus ini hampir pasti terkubur, mengingat semua elemen kasus terkait dengan Polri. Mulai dari korban dan pembunuh yang adalah polisi aktif, lokasi pembunuhan di rumah dinas Polri, hingga penyelidikan awal yang penuh kongkalikong sesama polisi. 

Namun tak cukup sampai di situ. Bagian terseram disampaikan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, Selasa 9 Agustus 2022. Otak pembunuhan yang memerintahkan Bharada Richard Eliezer menembak mati Brigadir Yosua juga seorang polisi, bahkan bos pelaku dan korban sendiri, yakni Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo (yang sudah dicopot dari jabatannya).

Walau sudah banyak yang menduga keterlibatan Sambo dalam kasak-kusuk medsos, informasi ini tetap mengejutkan. Ferdy adalah orang nomor satu di lingkungan Propam (profesi dan Pengamanan) Polri. Posisinya langsung di bawah Kapolri, dan dia berwenang mendisiplinkan seluruh polisi di republik ini.

Singkat kata, Divisi Propam adalah polisinya polisi. Propam juga tempat masyarakat mengadukan perbuatan aparat yang menyimpang. Dan kini, pejabat tertinggi Propam justru terbelit rekayasa kasus yang menyebabkan seorang polisi tewas mengenaskan.

Pembunuhan yang diotaki Ferdy Sambo ini jelas akan jadi sejarah kelam bagi institusi Polri. Namun usut punya usut, polisi melakukan rekayasa kasus sudah cukup banyak rekam jejaknya. Bedanya, rekayasa kasus oleh aparat yang terbongkar umumnya memakan korban warga sipil dan tak pernah menyebabkan aparat high profile seperti Sambo jadi tersangka. 

Berikut beberapa contoh kasusnya. Pada Januari 2020, 5 polisi aktif di Polda Jawa Barat dilaporkan ke Divisi Propam Mabes Polri atas dugaan rekayasa kasus sengketa tanah. Para terlapor ini bukan sosok main-main, dua di antaranya adalah mantan direktur Reskrimum dan mantan wakil direktur Reskrimum.

Laporan ini dipantik kasus yang dialami warga Bogor bernama Aniem Sujoyo yang menjual lahan 40 hektare ke perusahaan konstruksi bernama PT Talenta Putra. Jual beli itu bermasalah, klaim Aniem karena pembayaran PT Talenta macet sementara aktivitas tambang sudah dilakukan PT Talenta di lahan tersebut. 

Kontan Aniem melapor ke polisi, namun polisi seperti ogah-ogahan. Tak ada progres. Karena terus ribut, PT Talenta ganti melaporkan Aniem atas tuduhan penipuan. Kali ini polisi bergerak gesit. Kasus penipuan ini yang dilaporkan Aniem ke Div Propam sebagai rekayasa kasus. Sayangnya, tak ada lanjutan kabar kasus ini.

Rekayasa kasus pada 2014 lebih getir. Tukang ojek yang di Pusat Grosir Cililitan, Jakarta Timur, dituding ikut mengeroyok seorang sopir angkot sampai tewas. Tukang ojek bernama Dedi itu lalu diseret ke pengadilan dan dijatuhi hukuman 2 tahun penjara.

Saat mengajukan banding, ia terbukti tak bersalah dan akhirnya dibebaskan. Namun, Dedi sudah kadung dipenjara 10 bulan lamanya. Selama itu istri Dedi terpaksa gantian ngojek. Saat Dedi dipenjara itulah anaknya yang berusia 3 tahun meninggal dunia akibat kekurangan gizi.

Kasus terkenal lain yang diduga rekayasa dan melibatkan bantuan polisi adalah dugaan sodomi murid TK di Jakarta Intercultural School (JIS) pada 2014. Dua guru divonis 11 tahun penjara, 5 petugas kebersihan divonis 8 dan 7 tahun penjara, dan seorang petugas kebersihan bernama Azwar tewas secara misterius dalam tahanan. Muncul keyakinan di publik bahwa para pelaku adalah korban kriminalisasi.  Pada 2019, salah seorang guru bernama Neil Bantleman yang sudah dipenjara 5 tahun, mendapat grasi dari Presiden Jokowi. Ia bebas, sedangkan terpidana lain tetap dipenjara. 

Dugaan rekayasa juga menghinggapi kasus terbakarnya gedung Kejaksaan Agung (2020) dan pembunuhan 5 anggota FPI yang dilakukan polisi (2020). Dua kasus ini ikut kembali dibicarakan begitu Ferdy Sambo ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan Brigadir J. Sambo ikut menangani dua kasus tersebut dan terekam pernah membuat pernyataan kontroversial.

Di kasus kebakaran Kejagung, Sambo menjabat sebagai Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri. Bareskrim Polri adalah pihak yang saat itu menyatakan kebakaran disebabkan puntung rokok para kuli renovasi.

“Kami mendalami, open flame [nyala api terbuka] bisa disebabkan oleh bara api atau nyala api. Kami sudah melakukan percobaan dua kali. Tukang-tukang itulah yang menyebabkan awal api,” ujar Sambo yang saat itu berpangkat brigjen, dilansir Tempo.

CCTV tol Jakarta-Cikampek Km 50 yang mendadak mati sehari sebelum penembakan 4 anggota FPI, belakangan dianggap mirip modus kejahatan di rumah dinas Sambo. Sebanyak 6 anggota laskar FPI tewas ditembak polisi pada 7 Desember 2020. Dua orang tewas dalam baku tembak, 4 lainnya tewas dalam aksi yang diduga unlawful killing (pembunuhan melanggar hukum). 

Masalah CCTV ini penuh misteri. Ada simpang siur apakah CCTV Km 50 mati atau beroperasi. Lalu diam-diam polisi juga menyita CCTV itu. Dalam persidangan, saksi dari Jasa Marga menyatakan CCTV offline saat kejadian.



Karena tersangka pembunuhnya adalah 3 polisi aktif dari Polda Metro Jaya, Div Propam turun tangan memeriksa apakah penembakan sesuai hukum atau tidak. Saat itu Sambo sudah menjabat sebagai Kadiv. Ketiga tersangka adalah Ipda Elwira Priadi Z., Briptu Fikri Ramadhan, dan Ipda Mohammad Yusmin Ohorella.

Ipda Elwira kemudian tewas secara tiba-tiba dalam sebuah kecelakaan motor tunggal di Tangerang Selatan, pada 3 Januari 2021 atau tak sampai sebulan setelah penembakan. Alhasil hanya dua polisi yang didakwa, Briptu Fikri dan Ipda Yusmin. Pada akhirnya kedua pelaku divonis bebas oleh PN Jakarta Selatan dengan alasan membela diri.

Menurut Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), rekayasa kasus yang pelakunya adalah aparat polisi paling sering terjadi dalam kasus narkoba. Penyebabnya penyidikan yang asal-asalan serta target kerja polisi yang berdasarkan kuantitas. Lalu juga adanya motif aparat untuk memeras target korban. “Bahkan tak jarang penyidikan didasarkan ‘pesanan’ pihak berkepentingan, tentu dengan imbalan materi atau janji-janji lainnya,” tulis rilisan KontraS, yang diterbitkan pada 2010.

Tapi jangan salah. Polisi bukan pemain tunggal. Ketika sudah masuk persidangan, jaksa sangat mungkin terlibat. “Penyidik polisi saat membuat BAP memiliki kewenangan mandiri. Walau demikian kemandirian itu tunduk pada petunjuk jaksa. Jadi bila terjadi hal-hal seperti ini, maka tidak hanya penyidik yang bertanggung jawab, namun juga jaksa penuntut umum,” ujar Komisioner Kompolnas M. Nasser pada 2014 silam, dikutip Detik.

Balik ke kasus Ferdy Sambo, daya rusak rekayasa kasus ini terpampang jelas. Setidaknya 31 personel Polri kini jadi tersangka pelanggar kode etik dengan tuduhan ikut merekayasa kasus demi mengamankan Sambo. Sebagian besar tersangka adalah anak buah Sambo di Div Propam. Penasihat ahli Kapolri bidang komunikasi publik, Fahmi Alamsyah, turut mundur dari jabatannya karena dikabarkan membantu Sambo menyusun kronologi palsu.

“Dari Bareskrim Polri ada 2 personel: 1 pamen [perwira menengah] dan 1 pama [perwira pertama],” ujar Inspektorat Pengawasan Umum Polri Komjen Agung Budi Maryoto, dilansir Detik. “Div Propam Polri ada 21 personel: perwira tinggi 3, perwira menengah 8, perwira pertama 4 personel, bintara 4, dan tamtama 2 personel. Kemudian personel Polda Metro Jaya sementara ada 7 personel: perwira pangkat menengah 4 personel dan perwira pertama 3 personel.”

Setelah Sambo jadi tersangka, keingintahuan publik tercurah pada motif pembunuhan. Apa yang membuatnya tega memerintahkan eksekusi Yosua, yang sudah 2,5 tahun menjadi bagian dari lingkar terdekatnya?

Sejumlah spekulasi beredar, dibikin makin panas oleh Menko Polhukam Mahfud MD. Mahfud yang mengaku sudah mendapat bocoran motif Sambo, sempat mengatakan pada media bila alasan muncul perintah pembunuhan ini terlalu sensitif, sehingga hanya boleh didengar orang dewasa. Publik jelas makin penasaran. Sialnya, Bareskrim Polri telah menyatakan tak akan menyampaikan motif Sambo ke publik.  

“Untuk menjaga perasaan semua pihak, biarlah jadi konsumsi penyidik dan nanti mudah-mudahan terbuka saat persidangan,” ujar Kabareskrim Komjen Agus Andrianto, dalam jumpa pers Kamis, 11 Agustus 2022.

Sebanyak 4 orang telah ditetapkan sebagai tersangka kasus ini, yakni Sambo, Bharada Richard Eliezer, Bripka Ricky Rizal, dan sopir bernama Kuat Ma’ruf. Bharada E dikenai KUHP Pasal 338 tentang pembunuhan juncto Pasal 55 dan 56. Sementara Sambo, Ricky, dan Kuat dikenai KUHP Pasal 340 tentang pembunuhan berencana subsider Pasal 338 juncto Pasal 55 juncto Pasal 56.

Stik Famika Makassar

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

RIDWAN AZIZ
PLT BUPATI LABUHANBATU
Stik Famika Makassar
LAINNYA
x
x